Tidak jarang kita menemui perundingan penyelesaian perselisihan atau konflik/sengketa yang sudah berkepanjangan disertai bumbu doktrin nilai-nilai tertentu yang penuh dengan debat antagonis yang saling memojokkan, menyerang secara verbal (kadang juga fisik), dan selalu menganggap argumennyalah yang palih sahih. Masing-masing pihak bersikukuh dengan nilai-nilai yang diyakininya, dan bahkan tidak memberi kesempatan kepada lawan runding menyampaikan pandangannya, apalagi mencoba memahaminya. Perundingan yang demikian hampir bisa dipastikan akan berujung kebuntuan.
Belajar dari situasi konflik demikian, maka jika kita sebagai Mediator atau Fasilitator perundingan sangat penting untuk memiliki kekuatan sebagai pemimpin forum perundingan. Kekuatan mediator hanya bisa dibangun berdasarkan kesepakatan. Kesepakatan tersebut biasanya salam bentuk aturan main yang dibangun pada tahap awal pertemuan perundingan.
Aturan main tersebut biasanya minimal berisikan: (1) pembatasan jumlah dan nama-nama juru runding resmi para pihak dan mediator; (2) hak dan kewajiban para pihak dan mediator dalam masa perundingan berlangsung; (3) pengaturan lalu lintas komunikasi yang setara dan berimbang; (4) upaya mengatasi kebuntuan; (5) kerahasiaan proses dan hasil dari publikasi media, dan larangan penyebaran luasan dokumen, kecuali atas dasar kesepakatan ditentukan bersama di kemudian hari; (6) format kesepakatan; (7) skema pembiayaan proses mediasi; (8) larangan penggunaan kekerasan dan kata-kata menyerang atas dasar sara (suku, agama, dan ras), dan lain-lain.
Niscaya dengan menyepakati aturan main di tahap awal, maka akan memberikan kekuatan pada mediator untuk mengelola proses mediasi dengan lebih baik.
Salam Damai Harmoni,
A.Z – Law & Conflict Resolution (#15)